Langsung ke konten utama

Dongengmu, dongengku, berakhir.



Tetes-tetes hujan sebesar biji jagung menyerbu tanah menyapu daun-daun berguguran dipinggir jalan. Iseng saja, aku mendekat kejendela kaca dan menyentuh permukaannya dengan ujung telunjuk kananku. Sebuah senyum kecil tersungging dari bibirku. Tatapanku mengarah pada matahari yang detik demi detik kian meninggalkan peraduannya. Kini aku percaya dengan apa yang biasa orang lain katakan, suasana desa di klaten memang indah, meski hanya dinikmati dari balik kaca jendela. 

Kuubah haluan pandanganku menuju pintu berwarna cokelat tua dengan gerendel yang berwarna keemasan. Diam-diam aku membayangkan sosok yang selama ini sedang mati-matian aku hilangkan dari ingatanku. Lelaki brengsek berlengsung pipi yang manis, juga berkacamata tipis nan minimalis. Beberapa saat kemudian aku menyadari betapa bodohnya aku yang masih saja tidak bisa lupa dengan lelaki brengsek seperti kamu. Perlahan tapi pasti.. hujan turun lagi, kali ini membasahi pipiku. Kenangan-kenangan tentang kamu masih saja terus berusaha menyeret aku kemasa dahulu, masa yang seharusnya aku lupakan.

Lorong-lorong stasiun klaten mulai kususuri, kunaiki kereta prameks yang akan membawaku ke  kota Yogyakarta. Pagi itu sudah kuputuskan untuk pergi ke kota pelajar itu, bukan untuk apa-apa sekedar untuk meredakan rasa rinduku pada kamu. Aku ingin ke kaliurang untuk menghapus perasaan sepi dari diriku
.Aku duduk dekat jendela di gerbong 4, kursi nomor 4 pula. Tak selang berapa lama, seorang yang kukira berumur sama sepertiku menempati tempat duduk didepanku.  Pria ini begitu mirip dengan kamu.

 Dahulu, aku menganggap orang-orang yang berpenampilan urakan adalah orang yang tidak baik. Bagiku penampilan seseorang adalah cerminan kepribadian orang tersebut.  Aku perhatikan bagaimana gaya pria didepanku pada saat itu. Jaket levis, celana levis yang bolong pada daerah lutut serta sepatu kulit yang kumal setia melekat pada tubuhmu. Aku juga tidak lupa pada anting yang bertengger pada telinga dan  tattoo pada lehernya pun tak luput dari panca inderaku. 

Di gerbong kereta ini aku baru bertatap muka dengannya. Sudah 15 menit kereta prameks ini melaju, selama itu pula aku memerhatikan apa yang sedang pria bertato ini lakukan. Saat itu dia sedang duduk dengan bersedekap didada. Lebih dari 5 menit panca inderaku mengawasi gerak-geriknya, Lalu ketika aku menatap matanya..  astaga! Saat itu juga tatapannya sedang mengarah kepadaku. Dia tersenyum,tulus sekali. Tapi, bodohnya diriku, saat itu aku malah membuang muka kearah jendela. Pria ini mulai membuka percakapan denganku.

Percakapan santai namun tidak membosankan ini masih berlanjut sampai saat ini, tepat 3 bulan setelah kepulanganku dari klaten ke Jakarta.  Dari ceritanya aku bisa simpulkan bahwa dia punya selera humor yang baik sama seperti kamu.  Hey, kenapa aku masih saja mencari-cari kesamaan antara kamu dan dia. begitu tololnya aku. pria ini jelas berbeda denganmu. Dia bukan mahasiswa dari universitas negeri pencetak guru seperti kamu, dia hanya mahasiswa seni musik dari universitas berbasis kesenian swasta di kota Yogyakarta.  Kalau kamu adalah pelukis beraliran realis yang handal, maka dia hanya musisi biasa yang hanya mempunyai gitar tua peninggalan ayahnya. Harus aku akui kalian begitu berbeda.

Aku menghela nafas. Hari ini tepat 100 hari kamu pergi meninggalkan aku sendirian. Untuk apalagi aku mengingatmu, sedang dongeng yang kita bangun susah payah dulu telah kau hancurkan dengan mudahnya. Aku tau, saat ini kamu sedang bermesraan kan dengan kekasih barumu itu. Kekasih sempurna yang dewasa dan tidak kekanakan seperti aku. Saat ini, telah aku putuskan untuk merelakan dongeng kita dahulu untuk kebahagian gadismu. Dalam hati aku berdo’a sekuatnya, semoga kelak nanti anak-anakku tak bertemu lagi dengan pria brengsek berwajah manis seperti kamu. Biarkan saja kita tetap menjadi teman yang kemudian perlahan-lahan saling melupakan.

Dari mantanmu; yang sudah merelakan dongengnya untuk bahagiamu; juga bahagia gadismu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lagi, tentang kamu (yang kini mulai ku tempatkan di sudut hatiku yang terdalam)

Lagi, tentang kamu. Kalau kau mau aku bercerita dengan sangat jujur, sejak mengenalmu aku tak peduli bagaimana orang menilai mu.sejak itu, aku tak tau ada faktor yang entah dinamakan apa,   yang membuatku tak ingin meninggalkan ponsel barang sedetikpun. Kamu tentu tidak tau rasanya, perasaan ini begitu sulit untuk ku deskripsikan, sayang. Kamu tentu tidak tahu bagaimana rasanya jadi aku, jadi orang yang sulit bernafas ketika tak ada kabar darimu. Kamu juga tentu tidak akan pernah tahu, betapa rasanya setiap malam aku selalu tersenyum saat membaca ulang pesan singkat darimu. percakapan-percakapan bodoh kit a di penghujung malam, dan selera humormu yang selalu menjadi alasan senyumku sebelum beranjak memejamkan mata.  Ah sepertinya kini kamu telah membajak otakku. Entahlah, tapi aku mulai merasa setiap sel diotakku seperti diisi oleh KAMU. Kamu yang selalu hadir di benakku dengan bentuk dan rupa yang berbeda. Kamu sangat menggangguku, tuan! bahkan sahabatku p...

menyentuh Kenangan

Malam ini, sosokmu berhasil menyeretku lagi untuk menyentuh kenangan. Sudah sekian kali aku diam-diam menyebut namamu dalam sepi. Membawa ku menuju masa yang seharusnya aku lupakan namun tak dapat terhapus 0leh angkuhnya waktu dan jarak. Memaksaku untuk menatap kembali setiap episode saat aku dan kamu masih merasakan perasaan tak terdefinisi itu; cinta.           Semua terjadi begitu cepat, kita berkenalan lalu tiba-tiba merasakan perasaan yang aneh. Lalu kamu menjelma menjadi senyum yang tak bisa kujelaskkan lewat kata-kata. Kamu menjadi penyemangat saat asa ku perlahan menghilang. Dan kamu mulai memenuhi relung-relung hatiku.            Aku selalu ingat caramu menggodaku, Caramu meredam emosiku ketika memuncak, dan aku selalu ingat Kerutan matamu yang aneh namun tetap mempesona dalam pandanganku. Hal-hal itulah yang membuat memoriku susah melupakanmu. Sungguh! Kalau boleh jujur, kau...

Akhirnya Saya Harus Pergi

Kali ini saya gak akan menceritakan tentang luka. Karena bagi saya semua derita itu sudah usai. meskipun lukanya belum kering dengan sempurna, setidaknya saya gak ma u lagi untuk membuka luka lama. Belajar dari yang sudah terjadi kemarin, saya jadi menyadari satu hal penting.   jangan pernah memberi harapan atau menaruh harap kepada selain Allah, Tuhan yang maha esa. Mungkin bisa dibilang saya sudah phobia akan rasa kecewa yang berlebih. Saya gak mau kejadian bodoh seperti kemarin terulang.   Biarlah saya saat ini perlahan-lahan menjauhi dia. Bukan bemaksud untuk membenci dan memutuskan tali persaudaraan. Hanya saja, saya fikir, saya memerlukan waktu yang mungkin tidak sebentar untuk menghapus rasa yang gak seharusnya bercokol dihati saya. Saya perlu waktu untuk menyendiri, saya ingin menjernihkan fikiran agar dapat melihat segalanya dengan rasional, bukan dengan perasaan. Sebab itu, saat ini saya sedang pada  memperbaiki diri. Kalau boleh saya ibaratkan, se...